Melalui Menpan-RB (Abdullah Azwar Anas) Presiden RI (Joko Widodo) memberikan arahan bahwa Kementerian dan Lembaga tidak boleh lagi membangun aplikasi baru. Hal ini dikarenakan telah beredarnya lebih dari 27.000 aplikasi akibat dari pengembangan e-government atau Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), sehingga dikhawatirkan masyarakat akan kesulitan untuk mengoperasikan setiap aplikasi yang ada. Fenomena ini memberikan ilustrasi terkait aspek tata kelola SPBE yang belum sepenuhnya terintegrasi dalam lingkup nasional, pusat maupun daerah.
SPBE Bagian dari
Visi Pembangunan Nasional
Latar belakang SPBE
merupakan pejabaran dari visi Pembangunan Nasional 2005-2024 yakni “Indonesia
yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur” sebagaimana tertuang pada UU No. 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional tahun 2005-2025. Sehingga
untuk mewujudkan visi tersebut, misi pembangunan nasional difokuskan pada aspek
daya-saing, iptek dan reformasi-birokrasi yang diturunkan pada setiap Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan (RPJM) Daerah. Keluarnya
Perpres No. 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi serta
Perpres No. 95 tahun 2018 tentang SPBE semakin mengukuhkan lintasan dalam SPBE.
Adanya otonomi dan desentaralisasi pemerintahan NKRI, menciptakan
dinamika untuk menciptakan SPBE dengan tata kelola yang terpadu secara nasional.
Selaras dengan hal tersebut, visi SPBE dalam Perpres No. 95 tahun 2018,
menyebutkan “Terwujudnya sistem pemerintahan berbasis elektronik yang terpadu
dan menyeluruh untuk mencapai birokrasi dan pelayanan publik yang berkinerja
tinggi”, sehingga keyword “terpadu dan menyeluruh” memiliki makna yang
penting dalam penyelenggaraan SPBE, namun demikian adanya arahan Presiden
terkait larangan kementerian dan lembaga untuk membuat aplikasi menyiratkan
implementasi dari SPBE masih belum sepenuhnya terintegrasi.
SPBE dalam Perspektif
EGDI dan Komparasi dari UNDP Digital Development Compass
Mekanisme
tata kelola SPBE telah diatur oleh pemerintah melalui kebijakan yang
komprehensif, dan berdasarkan (RPJP) Nasional. Arah pembangunan berbasis Information
and Communication Technology (ICT) wajib termuat dalam (RPJM) Nasional mulai
tahap ke-1 s.d tahap ke-4 dan menjadi dasar acuan bagi (RPJM) Daerah. Kondisi pada
saat pandemi COVID-19 turut pula mengakselerasi pengembangan SPBE. Argumen ini
didasarkan pada data EGDI (E-Government Development Index) yang
digunakan untuk memetakan pembangunan e-government
pada negara-negara anggota PBB berdasarkan komponen layanan online (Online
Services Component), komponen infrastruktur telekomunikasi (Telecommunication
Infrastructure Component) dan kompenen sumber daya manusia (Human
Capital Component) dimana Indonesia pada tahun 2018, 2020 dan 2022
berturut-turut menempati ranking 107, 88 dan 77.
Tren
positif terkait SPBE Indonesia tidak serta-merta menempatkan keberhasilan Indonesia
dalam menerapkan SPBE, karena SPBE harus dilihat secara holistik. Berdasarkan
hal tersebut apabila melihat dari data yang ditampilkan pada Digital
Development Compass dari UNDP PBB, yang mengacu pada 5 pilar indikator
digital (Infrascture, Government, Regulation, Business, People) yang
kemudian dikategorikan dengan pola 5 (lima) stage, meliputi : Basic,
Opportunistic, Systematic, Differentiating dan Transformational menetapkan
Indonesia secara “overall” pada stage-3 (systematic)
sedangkan apabila dikomparasi dengan Malaysia dan Singapura (negara tetangga),
Malaysia dan Singapura secara “overall” berada pada stage-4 (differentiating).
Namun dalam konteks lebih spesifik keterkaitan dengan SPBE, kita bisa mendalami
pada pilar Government, Indonesia dan Malaysia berada pada stage-4
(differentiating) sedangkan Singapura pada stage-5 (transformational),
secara lebih mendetail lagi pada pilar Government ini Indonesia,
Malaysia dan Singapura memperoleh skor
berturut-turut 4.69, 4.59 dan 5,84 pada Digital Publik Service dan memperoleh
skor 3.8, 4.29 dan 4.26 pada Pendanaan dan Pengadaan Digital (Funding and
Procurement). Sedangkan pada Pilar
Regulasi Indonesia dan Malaysia berada pada stage-3 (systematic)
dan Singapura berada pada stage-4 (differentiating)
Berbasiskan
data komparasi tersebut, Indonesia telah berada pada lintasan yang tepat dalam
menentukan arah transformasi digitalnya, khususnya pada sektor pelayanan
publik, dan apabila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, walaupun
Indonesia berada pada posisi ke-5 namun telah melampaui indeks rata-rata pembangunan
e-government dunia.
Gambar 1. E-Gov
Development Index
(Sumber : publicadministration.un.org, diakses pada 18
September 2023)
Pasca
diterbitkannya Perpres No. 95 tahun 2018 tentang SPBE, dan apabila ditarik mundur,
dasar upaya pembangunan e-government
di Indonesia, didasarkan pula pada Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Secara umum upaya transformasi digital
di Indonesia telah menunjukkan geliat perubahan yang cukup signifikan. Namun
demikian nilai perolehan “overall” Indonesia dari perspektif UNDP Digital
Development Compass (stage 1-5) masih pada stage-3 (systematic)
atau dengan kata lain masih setengah perjalanan menuju stage-5 (transformational)
sehingga hendaknya hal itu menjadi pemicu Indonesia dalam artian holistik
(pemerintah dan masyarakat) untuk semakin mendorong transformasi digital
sehingga setiap stakeholder dapat memanfaatkan peluang (opportunity)
yang tersedia dalam perkembangan di Revolusi Industri 4.0 ini.
Potensi Permasalahan
Tata Kelola yang Belum Terintegrasi
Hal lain
yang menjadi titik fokus pada tulisan ini adalah mewujudkan SPBE terintegrasi
antar K/L/D/I (Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi),
karena adanya potensi terjadinya ketimpangan
pada berbagai institusi yang menyelenggarakan SPBE serta beberapa problem masalah
kedepannya apabila hal ini tidak terwujud, yakni [1]. Manajemen akun pribadi
masyarakat yang menjadi terlalu kompleks akibat banyaknya varian aplikasi SPBE;
[2]. Adanya potensi tumpang-tindih aplikasi, sehingga tentunya ada aplikasi
yang diadakan tetapi tidak dipergunakan, sehingga berdampak anggaran negara;
[3]. Aspek keamanan cyber (Cyber Security)data pribadi, dengan banyaknya
akun yang dibuat pada berbagai platform dan dihost pada berbagai
server dan belum terintegrasi, apakah ada jaminan bahwa data tersebut tidak
akan bocor dan disalahgunakan oleh pihak tertentu?.
Satu Data Indonesia
sebagai Digital Culture
Ketimpangan
dalam tingkat kematangan penerapan SPBE di berbagai instansi tercermin pada
data di Perpres No. 132 tahun 2022 tentang Arsitektur SPBE Nasional yang
menjabarkan bahwa capaian nilai indeks SPBE tahun 2020 untuk instansi pusat
sebesar 2.90 dan rata-rata capaian nilai indeks SPBE untuk pemerintah Daerah
hanya sebesar 2.14 sedangkan untuk Hasil Evaluasi SPBE 2020 secara nasional
yang memiliki predikat “Baik” ke atas hanya berjumlah 40,96% sedangkan
selebihnya memiliki predikat di bawah “Baik”. Data ini menandakan SPBE secara
nasional masih membutuhkan tatanan yang lebih lanjut, khususnya pada aspek
kolaborasi dan integrasi antara K/L/D/I.
Bentuk tata kelola SPBE yang terintegrasi berdasarkan opini penulis akan menghasilkan banyak manfaat dalam pengembangan digital culture masyarakat, yakni meliputi Cloud Computing, Big Data, IoT (Internet of Things), Social Media dan juga AI (Artificial Intellegence). Apalagi “data” saat ini dikenal dengan istilah “New Oil” sehingga dengan tata kelola yang terintegrasi dan memenuhi aspek Cyber Security, negara dapat mengupayakan Digital Single Identity bagi masyarakat untuk mendapatkan berbagai layanan dari pemerintah dan mengurangi berbagai potensi permasalahan yang disebutkan sebelumnya. Implementasi Perpres No. 132 tahun 2022 diharapkan dapat menjadi landasan kerangka yang memuat proses bisnis, data dan informasi yang menghasilkan layanan yang terpadu, sehingga dapat menjadi basis kebijakan “Satu Data Indonesia” yang sustainable.