Dulu, di suatu desa kecil yang terletak di tengah perbukitan, hiduplah seorang petani baik hati bernama Oliver. Oliver terkenal karena kasih sayangnya terhadap semua makhluk, baik yang merangkak, terbang, atau berjalan. Ladangnya subur dengan tanaman, dan dia merawatnya dengan cinta dan perhatian.
Dia berlutut, lembut mengambil ular itu, dan menggendongnya di dadanya. Tubuh sedingin es ular itu perlahan mencair karena kehangatan Oliver. Kehidupan kembali ke nadinya. Mata ular itu terbuka, dan dia memandang Oliver dengan perasaan campur aduk antara terkejut dan curiga.
“Terima kasih,” desis ular itu. “Mengapa kamu menyelamatkanku? Kamu tahu siapa aku.”
Oliver tersenyum. “Setiap kehidupan berharga,” jawabnya. “Bahkan milikmu. Aku tidak bisa membiarkanmu membeku.”
Rasa terima kasih ular itu hanya berumur pendek. Segera setelah kekuatannya pulih, ia menyerang. Taringnya menancap di tangan Oliver, menyuntikkan racun ke pembuluh darahnya. Oliver tersentak, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia tersandung ke belakang, pandangannya kabur.
Penduduk desa bergegas ke sisinya, khawatir dengan tangisannya. Mereka melihat ular itu merayap pergi, tidak berterima kasih atas belas kasihan yang diterimanya. Wajah Oliver pucat, dan dia tahu dia tidak akan selamat. Napasnya menjadi pendek, dan dia mengumpulkan kekuatannya untuk berbicara.
"Dengar," bisik Oliver, suaranya memudar. “Belajarlah dari nasibku. Kebaikan tidak boleh membutakan kita terhadap kejahatan. Tidak semua orang yang tampak tidak berdaya layak menerima belas kasih kita. Waspadalah terhadap bajingan yang menggigit tangan pemberi makan.”
Dan dengan kata-kata itu, Oliver menutup matanya, nyawanya melayang pergi. Penduduk desa berdiri diam, hati mereka berat. Mereka bersumpah untuk mengingat pelajaran Oliver — untuk berbelas kasih namun cerdas, untuk membantu mereka yang membutuhkan tetapi tidak mengorbankan keselamatan mereka sendiri.
Sejak hari itu, setiap kali seseorang menghadapi dilema, mereka akan berkata, “Ingatlah petani dan ular beku itu.” Dan kenangan akan pengorbanan Oliver bergema di seluruh perbukitan, mengajarkan generasi-generasi tentang keseimbangan antara kebaikan dan kebijaksanaan.
Pesan moral dalam cerita ini adalah:
anak-anak, jadilah baik dan cerdas. Tidak semua yang tampak lemah pantas mendapat belas kasihan, dan tidak semua yang menggigit bersyukur. Pilihlah untuk berbuat baik dengan bijaksana, semoga hatimu tetap hangat seperti hati Oliver di pagi yang dingin itu.